FESMI dan PAPPRI Ajukan Amicus Curiae ke Mahkamah Agung Terkait Kasus Hak Cipta Agnez Mo dan Ari Bias

Lambeturah.co.id - Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) dan Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) secara resmi mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Agung (MA) terkait kasus hak cipta yang melibatkan Agnez Mo dan Ari Bias.
Kasus perdata antara Agnez Mo dan Ari Bias telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yang mengabulkan sebagian gugatan dari Ari Bias. Namun, perkara ini berlanjut setelah Agnez Mo mengajukan kasasi ke MA.
Pengajuan amicus curiae ini ditandatangani oleh Ikang Fawzi, Wakil Ketua Umum FESMI, dan Tony Wenas, Ketua Umum PAPPRI.
Langkah ini diambil untuk menjaga keseimbangan hukum dalam industri musik.
Dalam keterangan pers yang diterima pada Kamis (20/3/2025), kedua organisasi tersebut menilai bahwa putusan Pengadilan Niaga perlu dikoreksi, karena dianggap berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan ekosistem musik di Indonesia.
"Ini bukan soal satu artis, tetapi soal ekosistem musik secara keseluruhan. Jika putusan Pengadilan Niaga ini menjadi preseden, maka sistem hukum hak cipta kita bisa menjadi kacau. Harus ada koreksi agar tetap dalam jalur yang sehat dan berorientasi pada kepentingan bersama," ungkap Panji Prasetyo, Direktur Hukum FESMI.
Sementara itu, Marcell Siahaan, Ketua Bidang Hukum DPP PAPPRI, menekankan bahwa kasus ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi seluruh pelaku industri musik.
"Kasus Agnez ini membuka mata kita tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam ekosistem kita, seolah menjadi momentum untuk kita kembali menentukan prioritas kita, yaitu berekonsiliasi untuk kemudian bahu-membahu menjaga keseimbangan ekosistem ini agar tetap kondusif, produktif, dan tentunya: waras dan bermartabat," ujar Marcell.
Lebih lanjut, FESMI dan PAPPRI merasa bahwa jika putusan perkara Agnez dan Ari Bias tidak dikaji ulang dan dibiarkan menjadi yurisprudensi, hal ini dapat mengganggu sistem royalti yang selama ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Keterangan tersebut juga menyatakan bahwa putusan Pengadilan Niaga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para musisi, pencipta lagu, produser, dan seluruh elemen dalam industri musik yang bergantung pada sistem distribusi royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).