Petani Desa Gondoharum Demo: Dugaan Korupsi Bantuan Puso di Kudus

Petani Desa Gondoharum Demo: Dugaan Korupsi Bantuan Puso di Kudus
Petani Desa Gondoharum Demo: Dugaan Korupsi Bantuan Puso di Kudus

Lambeturah.co.id - Petani Desa Gondoharum, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, melakukan aksi demonstrasi pada 6 Januari 2025 untuk memprotes dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) terkait bantuan puso akibat banjir yang melanda wilayah mereka.

Aksi tersebut menjadi sorotan publik setelah video unggahan @liputankudus via Akun @xtudio.id viral di media sosial.

Bantuan yang seharusnya diterima petani sebesar Rp8 juta per hektar diduga hanya sampai Rp1,7 juta.

Sisanya, senilai Rp6,3 juta, dilaporkan dipotong oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, muncul laporan bahwa sejumlah penerima bantuan tidak memiliki lahan sawah, sementara petani yang sawahnya terdampak banjir sebagian besar justru tidak mendapatkan bantuan tersebut.

Dalam sebuah wawancara dengan media lokal, Kepala Desa Gondoharum, Kasmiran, membenarkan bahwa beberapa petani telah mendatangi kantor desa untuk meminta penjelasan terkait dugaan penyimpangan tersebut.

Namun, ia membantah adanya pemotongan dana bantuan.

"Kami memastikan tidak ada pemotongan dana bagi petani yang lahannya puso akibat banjir," ujar Kasmiran.

Pihak desa mengaku akan melakukan investigasi untuk memastikan bantuan tepat sasaran dan tidak terjadi penyimpangan.

Sementara itu, laporan dari kanal YouTube Jurnal Tinta Media juga mempertegas kekecewaan petani atas ketidakadilan dalam distribusi bantuan ini.

Mereka merasa tidak hanya dirugikan secara finansial, tetapi juga secara moral karena hak mereka diabaikan.

Aksi demonstrasi ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah dan pihak terkait untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyaluran bantuan.

Transparansi dan akuntabilitas menjadi tuntutan utama para petani agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang.

Tuntutan Petani Desa Gondoharum
1. Transparansi dalam penyaluran dana bantuan puso sebesar Rp8 juta per hektar.
2. Investigasi terhadap dugaan penerima bantuan yang tidak memiliki lahan sawah.
3. Penegakan hukum terhadap oknum yang terbukti melakukan korupsi atau penyimpangan.

Bantuan puso dari mantan Presiden Jokowi menjadi polemik di Desa Gondoharum, terutama di lahan yang menjadi tanggung jawab kelompok tani (poktan) Sidodadi.

Laporan betanews.id, Ketua Poktan Sidodadi, Sutarmin, menyangkal adanya potongan sepihak dalam program tersebut. Menurutnya, bantuan dibagi rata sesuai kesepakatan bersama yang telah dibuat sebelumnya.

“Saya rencananya menjalankan kesepakatan awal petani, agar bantuan dibagi rata semua petani yang terdampak,” ujar Sutarmin saat ditemui di Dukuh Tompe, Selasa (7/1/2025).

Sutarmin menjelaskan bahwa ketika banjir menyebabkan gagal panen pada lahan seluas 25 hektare, pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kudus menyampaikan akan ada bantuan puso sebesar Rp8 juta per hektare.

Informasi ini kemudian disampaikan kepada para petani, dan dari total 80 petani yang terdampak, 33 orang diwakili untuk mengajukan bantuan.

Bantuan sebesar Rp200 juta akhirnya cair pada 30 Desember 2024 dan masuk ke rekening 33 petani tersebut.

Namun, terjadi perbedaan pendapat di antara para petani.

Sebagian petani menginginkan dana tersebut dibagi sesuai ketentuan pemerintah, yaitu Rp8 juta per hektar, sementara sebagian lainnya tetap ingin dana dibagi rata seperti kesepakatan awal. Jika dibagi rata, setiap penggarap akan menerima Rp2 juta.

’’Ada yang garap cuma setengah hektar tapi mendapat bantuan satu hektare, tidak sesuai sama luasan tanah aslinya,’’ sebutnya.

“Kalau begitu, tidak sesuai kesepakatan awal dan kasihan petani lain yang terdampak,” ungkap Sutarmin.

Kepala Desa Gondoharum, Kasmiran, menyampaikan bahwa lahan pertanian di desanya mencakup sekitar 500 hektare yang terdiri atas tanaman padi, tebu, dan palawija dengan 13 poktan.

Pada 2022, lahan yang kebanjiran dan gagal panen terdapat di dua dukuh, yaitu Dukuh Tompe yang dikelola Poktan Sidodadi dan Dukuh Tampung yang dikelola Poktan Sido Makmur. Namun, polemik bantuan hanya terjadi di Dukuh Tompe.

“Total tanaman padi yang gagal panen di Dukuh Tompe itu 150 hektare, tetapi yang mendapat bantuan puso hanya 25 hektare. Niat dari Poktan Sidodadi sesuai kesepakatan awal yakni bantuan dibagi rata, tetapi petani ada yang menolak,” jelas Kasmiran.

Sebagai respons terhadap protes tersebut, pemerintah desa berencana mengumpulkan seluruh petani yang memiliki lahan di Dukuh Tompe untuk mencari solusi terbaik.

“Nanti kita akan kumpulkan semua. Kita cari titik temu dan solusi terbaik bagi kedua belah pihak,” imbuhnya.

Kasus ini mencerminkan pentingnya pengawasan ketat dalam penyaluran bantuan kepada masyarakat.

Apakah suara para petani ini akan menjadi katalis perubahan, atau hanya menjadi satu dari sekian banyak cerita ketidakadilan? Waktu yang akan menjawabnya.