RUU Kesehatan Dinilai Diskriminatif Bagi Penyandang Disabilitas

Koalisi Penyandang Disabilitas menemukan sejumlah pasal di draf RUU Kesehatan, yang perlu dikoreksi lantaran sangat diskriminatif bagi penyandang disabilitas.

RUU Kesehatan Dinilai Diskriminatif Bagi Penyandang Disabilitas
RUU Kesehatan Dinilai Diskriminatif Bagi Penyandang Disabilitas

Lambeturah.co.id - Beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang dinilai sangat diskriminatif dan bisa berpotensi memiskinkan penyandang disabilitas

DPR dan pemerintah diminta membuka ruang partisipasi untuk organisasi penyandang disabilitas dan organisasi penyakit kronis atau langka untuk memberikan masukan terhadap RUU tersebut dan harus dihilangkan.

Demikian bunyi pernyataan Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas serta Organisasi Penyakit Kronis dan Langka, pada Minggu (19/3/2023), hal ini menyikapi RUU Kesehatan yang baru ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pekan lalu. 

Koalisi itu diantaranya Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) pusat dan beberapa daerah, SIGAB Indonesia, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, SAPDA, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Gerkatin, dan OHANA.

”Pemerintah harus membuka kembali ruang untuk masyarakat berpartisipasi. Seharusnya pemerintah mempublikasikan pasal-pasal apa saja yang akan diatur dengan bahasa yang sederhana, tidak hanya membiarkan publik membaca draf RUU yang mencapai 400 lebih pasal,” kata Fatum Ade, mewakili Koalisi Penyandang Disabilitas RUU Kesehatan.

Koalisi Penyandang Disabilitas menemukan sejumlah pasal dalam draf RUU Kesehatan per 7 Februari 2023, yang perlu dikoreksi lantaran sangat diskriminatif bagi penyandang disabilitas. Misalnya, Pasal 4 Ayat (3), Pasal 135 Ayat (2), dan Pasal 245 Ayat (3) Huruf c, Pasal 104 Ayat (5), dan Pasal 109 Ayat (1).

Pasal 4 Ayat (3) yang mengecualikan seseorang yang mengalami gangguan mental berat mendapatkan hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang diberikan kepada dirinya.

Pasal 135 Ayat (2) yang mengatur bahwa hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam proses seleksi. 

”Pasal itu memosisikan seseorang dengan gangguan jiwa atau kesehatan berpeluang kecil mendapatkan pekerjaan,” ujar Fajri Nursyamsi dari PSHK.

Menurutnya, pasal ini dinilai sangat diskriminatif bagi penyandang disabilitas sebab merugikan bahkan berpotensi memiskinkan penyandang disabilitas. 

Jika pasal itu diterapkan, dapat berpotensi membebani pemberi kerja dan calon pekerja/pegawai, bersifat diskriminatif lantaran melanggar hak atas pekerjaan dan hak atas akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.

Tak hanya itu, Pasal 135 juga kontraporiduktif dengan upaya pemerintah dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif dan berpotensi bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan UU lainnya. 

”Dalam pasal itu tidak dijelaskan apa fungsi dari pemeriksaan yang dilakukan. Karena jika dilakukan untuk dasar menjadikan seseorang di bawah pengampuan, maka itu adalah praktik pelanggaran hak asasi manusia,” tandasnya.