Pengusaha Tanggapi Cuti Melahirkan 6 Bulan: Beban Tambahan bagi Dunia Usaha

Pengusaha Tanggapi Cuti Melahirkan 6 Bulan: Beban Tambahan bagi Dunia Usaha
Pengusaha Tanggapi Cuti Melahirkan 6 Bulan: Beban Tambahan bagi Dunia Usaha

Lambeturah.co.id - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) dalam rapat paripurna, Selasa (4/6).

Dengan disahkannya UU ini, ibu melahirkan berhak mendapatkan cuti hingga enam bulan dengan syarat-syarat tertentu.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyatakan dukungannya terhadap upaya pemerintah untuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak melalui pengesahan UU KIA. Menurut Shinta, kebijakan ini sejalan dengan program Apindo dalam menurunkan prevalensi stunting di Indonesia.

Namun demikian, Shinta tidak menampik adanya kekhawatiran di kalangan pengusaha terkait ketentuan cuti melahirkan hingga enam bulan. Menurutnya,

kebijakan ini berpotensi menambah beban bagi dunia usaha.

"Ketentuan baru tersebut berpotensi menambah beban baru dunia usaha, baik secara finansial dan non-finansial," kata Shinta, Rabu (5/6/2024).

Shinta menjelaskan bahwa potensi beban tersebut mencakup implikasi rekrutmen hingga pelatihan pegawai pengganti sementara. Selain itu, perusahaan juga diwajibkan untuk membayarkan gaji karyawan yang cuti hamil secara penuh selama empat bulan pertama dan 75% gaji untuk bulan kelima dan keenam.

Kondisi ini tentu memberatkan para pengusaha, terutama yang beroperasi dalam skala kecil. Mereka mau tidak mau harus mengalokasikan sebagian pendanaannya untuk menutupi biaya cuti karyawan,

"Mau tidak mau manajemen juga harus mengatur substitusi pekerja, peralihan hingga delegasi tugas. Untuk usaha skala kecil yang mau tak mau harus mengalokasikan biaya masa cuti," jelasnya.

Lebih lanjut, Shinta menambahkan bahwa manajemen perusahaan harus mengatur substitusi pekerja, peralihan, dan delegasi tugas. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi usaha kecil yang harus mengatur pendanaan untuk biaya cuti tersebut.

Oleh karena itu, diperlukan dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha serta pemutakhiran kebijakan mengenai cuti hamil/melahirkan yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di masing-masing perusahaan.

"Dunia usaha berharap agar penerapan disertai efektivitas peranan strategis pemerintah yang seimbang. Yakni dengan tetap memberikan perlindungan memadai bagi pekerja perempuan yang melahirkan tanpa mengorbankan produktivitas dan daya saing dunia usaha," pungkasnya