Tren Sewa iPhone Menjelang Lebaran: Gaya atau Kebutuhan Simbolik?

Lambeturah.co.id - Menjelang Lebaran, fenomena persewaan iPhone semakin marak di berbagai daerah dan menjadi topik hangat di media sosial. Banyak masyarakat menyewa iPhone untuk digunakan saat buka bersama atau bersilaturahmi, demi meningkatkan citra diri di hadapan teman dan kerabat.
Tren Sewa iPhone Viral di Media Sosial
Fenomena ini ramai diperbincangkan di platform media sosial, khususnya X (sebelumnya Twitter). Salah satu pengguna dengan akun @tanyakan*** menyoroti fenomena tersebut, khususnya di Solo, yang disebut mengalami lonjakan permintaan persewaan iPhone menjelang Lebaran.
"Sebagai pengguna S24Ultra yang mengalami garis hijau, saya bertanya-tanya, kenapa semua orang tergila-gila dengan buah-buahan? Apa yang sebenarnya terjadi?" tulisnya.
Unggahan tersebut mendapat beragam respons dari warganet. Beberapa mencoba menjelaskan alasan di balik tren ini, baik dari sisi kebutuhan sosial maupun simbolik.
Perspektif Sosiologi: Kebutuhan Simbolik vs. Kebutuhan Fungsional
Menurut Drajat Tri Kartono, sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), tren ini dapat dijelaskan melalui konsep kebutuhan simbolik dalam sosiologi.
“Dalam sosiologi, fenomena ini disebut sebagai bisnis simbolik, di mana seseorang menyewa barang bukan karena fungsinya, tetapi karena nilai simbolik yang melekat pada barang tersebut,” ujar Drajat dilangsir Kompas.com, Rabu (26/3/2025).
Drajat menjelaskan bahwa teknologi memiliki dua fungsi utama bagi masyarakat:
-
Nilai Guna – Teknologi digunakan berdasarkan manfaat praktisnya, seperti ponsel yang digunakan untuk komunikasi.
-
Nilai Simbolik – Teknologi digunakan untuk menunjukkan status sosial seseorang. Dalam hal ini, iPhone menjadi simbol prestise, yang membedakan penggunanya dari kelompok lain.
Karena itu, tren sewa iPhone selama Lebaran lebih berkaitan dengan nilai simbolik dibandingkan kebutuhan komunikasi yang sebenarnya. Namun, Drajat juga mengingatkan bahwa penggunaan teknologi sebagai simbol status bisa menjadi masalah ketika seseorang memaksakan diri untuk tampil berkelas meski tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup.
Sewa iPhone dan Fenomena Hiperrealitas
Senada dengan Drajat, Nurhadi, dosen Sosiologi Antropologi UNS, mengaitkan tren ini dengan konsep hiperrealitas. Hiperrealitas mengacu pada kondisi di mana batas antara realitas dan fantasi menjadi kabur.
Nurhadi menjelaskan tiga alasan utama mengapa seseorang menyewa iPhone dari perspektif hiperrealitas:
-
Kurang Percaya Diri – Beberapa orang merasa realitas mereka kurang menarik, sehingga mereka menggunakan iPhone untuk meningkatkan citra diri.
-
Kebutuhan Estetika – Kamera iPhone dikenal memiliki kualitas tinggi, sehingga penyewa ingin mendapatkan foto yang lebih baik untuk media sosial.
-
Meningkatkan Portofolio – Beberapa penyewa menggunakan iPhone untuk mendukung bisnis, misalnya dengan memotret produk agar tampak lebih profesional.
Menurut Nurhadi, fenomena ini mencerminkan bagaimana masyarakat modern semakin terjebak dalam dunia fantasi dan pencitraan.
Dampak Jangka Panjang
Nurhadi memperingatkan bahwa tren ini dapat berdampak negatif secara psikologis dan finansial. Ketika seseorang terus-menerus membangun citra yang tidak sesuai dengan realitasnya, mereka bisa mengalami krisis identitas dan kehilangan kepercayaan diri yang sebenarnya.
“Orang bisa sampai pada titik di mana mereka tidak lagi menyukai diri sendiri karena terus membandingkan dengan citra yang dibuat-buat,” ujarnya dilangsir Kompas.com.
Selain itu, secara finansial, menyewa iPhone hanya demi gengsi bisa menjadi pengeluaran yang tidak perlu. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu gaya hidup konsumtif yang tidak sehat.
Bagi pelaku usaha, penggunaan iPhone sebagai alat pemasaran juga bisa menjadi bumerang. Jika produk yang dipasarkan terlalu jauh dari kenyataan, pelanggan bisa kehilangan kepercayaan.
Tren sewa iPhone menjelang Lebaran bukan hanya sekadar gaya hidup, tetapi juga fenomena sosial yang mencerminkan kebutuhan akan pengakuan dan pencitraan. Meskipun hal ini dapat dimaklumi, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan teknologi, agar tidak terjebak dalam hiperrealitas yang bisa berdampak negatif dalam jangka panjang.