RUU Polri: Polisi Berwenang Blokir dan Batasi Akses Internet untuk Keamanan Nasional

RUU Polri: Polisi Berwenang Blokir dan Batasi Akses Internet untuk Keamanan Nasional
RUU Polri: Polisi Berwenang Blokir dan Batasi Akses Internet untuk Keamanan Nasional

Lambeturah.co.id - Dalam revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri), polisi diusulkan memiliki wewenang untuk melakukan pemblokiran dan pelambatan akses internet publik di ruang siber demi menjaga keamanan dalam negeri.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ini telah ditetapkan sebagai inisiatif DPR RI dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Selasa, 28 Mei 2024.

Pengaturan mengenai pemblokiran konten di media sosial diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Huruf q RUU Polri. Pasal ini menyebutkan bahwa Polri akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan tindakan pemblokiran atau pembatasan di ruang siber.

Namun, pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci mengenai situasi keamanan dalam negeri yang memerlukan tindakan pemutusan, pemblokiran, dan pembatasan akses internet.

Berikut bunyi Pasal 16 Ayat (1) Huruf q RUU Polri:

“Melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi,” tulis RUU tersebut.

Revisi UU Polri ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Beberapa pihak mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan wewenang dan dampaknya terhadap kebebasan berekspresi serta hak akses informasi.

Sebaliknya, pihak yang mendukung revisi ini berpendapat bahwa langkah ini diperlukan untuk menangkal ancaman terhadap keamanan nasional, seperti terorisme dan penyebaran berita hoaks yang dapat menimbulkan keresahan publik.

Dalam konteks global, tindakan serupa juga diambil oleh beberapa negara yang menghadapi ancaman serius terhadap keamanan nasional.

Meski demikian, penerapan kebijakan ini memerlukan pengawasan yang ketat dan transparansi untuk memastikan bahwa hak-hak dasar warga negara tetap terlindungi.