Tiga Hakim MA Dilaporkan ke KY karena Ubah Syarat Usia Calon Peserta Pilkada

Tiga Hakim MA Dilaporkan ke KY karena Ubah Syarat Usia Calon Peserta Pilkada
Tiga Hakim MA Dilaporkan ke KY karena Ubah Syarat Usia Calon Peserta Pilkada

Lambeturah.co.id - Gerakan Sadar Demokrasi dan Konstitusi (Gradasi) melaporkan tiga hakim Mahkamah Agung ke Komisi Yudisial pada Senin (3/6).

Tiga hakim tersebut adalah Prof. Dr. Yulius, Dr. Cerah Bangun, dan Dr. Yudi Martono Wahyudani.

Ketiga hakim tersebut merupakan majelis yang memeriksa, mengadili, dan memutus Perkara Nomor 23 P/HUM/2024.

Putusan mereka mengubah syarat usia calon kepala daerah level provinsi dari yang sebelumnya harus berusia 30 tahun saat pendaftaran, menjadi cukup berusia 30 tahun saat pelantikan sebagai kepala daerah terpilih.

Gradasi menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses persidangan ini, termasuk dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009.

"Di antaranya proses pemeriksaan yang dilakukan dalam waktu singkat dan terkesan terburu-buru. Dalam perkara a quo dilakukan hanya dalam tenggang waktu kurang dari 3 (tiga) hari dari tanggal 27 Mei 2024 sejak didistribusikan hingga pembacaan putusan pada tanggal 29 Mei 2024," ujar Direktur Sadar Demokrasi dan Konstitusi (Gradasi), Abdul Hakim dalam keterangannya, Senin (3/6).

Menurut Abdul, proses pemeriksaan yang sangat cepat ini melampaui kebiasaan atau praktik hak uji materi di Mahkamah Agung pada umumnya. Menurut kajian dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Universitas Indonesia, proses seperti ini biasanya memakan waktu sekitar 6 hingga 50 bulan.

"Dijumpai adanya dugaan kuat bahwa perkara a quo menjadi perkara prioritas yang didahulukan dan diistimewakan dibanding dengan perkara-perkara yang lain yang diajukan ke MA. Sehingga hakim terkesan tidak independen diduga melanggar asas imparsialitas (ketidakberpihakan) dan tidak berintegritas," ucap Abdul.

Abdul juga menilai putusan MA tersebut problematik karena memperluas tafsiran pasal 4 ayat 1 huruf (d) dari "Sejak Ditetapkan Menjadi Calon" menjadi "Sejak Pelantikan". Putusan ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melukai rasa keadilan masyarakat.

"Melampaui kewenangannya, secara teoritis dan normatif bukan kewenangan MA melainkan "open legal policy" sehingga seolah-olah putusan ini dipaksakan dan melampaui kewenangannya," tuturnya.

Lebih lanjut, Gradasi menilai bahwa tidak ada relevansi konstitusional materiil yang diujikan dalam perkara tersebut, serta tidak adanya validasi kepastian hukum karena didasarkan pada sesuatu yang tidak pasti. Oleh karena itu, putusan tersebut dinilai inkonstitusional.

"Pada pokoknya Pelapor meminta KY untuk melakukan pemeriksaan kepada hakim terkait dalam rangka memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus perkara 23 P/HUM/2024 berdasarkan pada rasa keadilan rakyat," pungkasnya.

Secara terpisah, Komisi Yudisial membenarkan adanya laporan tersebut. Atas laporan itu, KY akan memprosesnya.

"Karena sudah ada pelapor, sesuai dengan kewenangannya, KY akan memproses. Kasus ini menarik perhatian publik, sehingga KY akan bertindak profesional menindaklanjuti laporan dari masyarakat berbasis kecukupan bukti dan informasi, serta prosedur yang ada," kata Anggota KY Mukti Fajar Nur Dewata.

Meski demikian, Mukti menyatakan bahwa KY fokus pada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, tidak memeriksa terkait materi pertimbangan putusan.

"Jika ditemukan dugaan pelanggaran kode etik, KY akan memeriksa hakim terlapor yang nantinya diputuskan dalam Sidang Pleno untuk menentukan apakah terbukti atau tidak terbukti melanggar kode etik," ujar Mukti yang juga jubir KY itu.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan dari Mahkamah Agung maupun ketiga hakim yang dilaporkan tersebut terkait laporan ini.