Miris Diduga Tiru Tren TikTok Siswa SD Situbondo Sayat Lengan 

Miris Diduga Tiru Tren TikTok Siswa SD Situbondo Sayat Lengan 
Miris Diduga Tiru Tren TikTok Siswa SD Situbondo Sayat Lengan 

"Informasi berikut ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan."

Lambeturah.co.id - Miris aksi yang dilakukan oleh siswa Sekolah Dasar (SD) di Situbondo telah mengundang perhatian dan keprihatinan. Mereka dengan sengaja menyayat lengan mereka sendiri demi mengikuti tren yang beredar di media sosial TikTok. 

Tidak hanya siswa SD yang terlibat dalam perilaku ini, tren yang sama juga menyebar di kalangan pelajar SMP. Fenomena ini juga telah tersebar luas melalui media sosial dan grup percakapan aplikasi. Para siswa SD ini menggunakan alat kesehatan berbentuk stik, yang biasanya digunakan untuk mengukur kadar gula darah, untuk membuat goresan pada lengan mereka sendiri.

Para siswa SD yang berusia sekitar 10 hingga 12 tahun ini mengaku membeli alat tersebut dari seorang pedagang keliling yang berjualan di sekitar sekolah mereka.

Kejadian ini pertama kali terungkap ketika seorang guru menemukan goresan pada lengan seorang siswa kelas V di Kota Situbondo. Guru tersebut segera melaporkan kejadian ini kepada kepala sekolah guna mengambil tindakan yang sesuai.

Pihak sekolah segera mengambil langkah-langkah dengan memeriksa seluruh siswa di sekolah mereka. Mereka juga berkoordinasi dengan sekolah lain untuk memeriksa siswa di wilayah tersebut.

"Di sekolah kami ternyata ditemukan sekitar 10 siswa lebih yang lengannya juga tersayat. Kami langsung melakukan pembinaan dan memanggil orang tuanya," kata seorang kepala sekolah sebuah SD di kawasan Kota Situbondo, Senin (2/10/2023).

Pihak sekolah melaporkan fenomena ini kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Situbondo agar dapat diidentifikasi apakah fenomena serupa terjadi di sekolah lainnya.

"Kami juga menutup sementara akses para pedagang keliling yang berjualan di sekolah. Karena dari pengakuan siswa, mereka membeli alat itu dari pedagang keliling di sekolah," tandasnya.

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Situbondo, Supiyono, mengungkapkan bahwa ia telah menerima laporan dari kepala sekolah yang menemukan fenomena ini di sekolah mereka.

Salah satu langkah yang akan diambil oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah berkolaborasi dengan koordinator wilayah tingkat SD dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) untuk menangani masalah serupa di sekolah menengah pertama.

"Karena tak menutup kemungkinan fenomena itu juga terjadi pada banyak siswa SD dan SMP lainnya," kata Supiyono.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Situbondo juga akan melibatkan para orang tua siswa melalui komite sekolah dalam upaya menangani tren ini.

"Kondisi saat ini memang serba repot. Di sekolah mungkin bisa diperketat pemakaian gawai. Tapi saat sudah berada di rumah, mungkin dibebaskan membuka medsos dan lain-lain," ujarnya.

Oleh karena itu, Supiyono menekankan pentingnya peran semua pihak dalam mengawasi anak-anak, baik dalam penggunaan perangkat elektronik maupun aktivitas media sosial mereka.

Di sisi lain, seorang Psikolog dan Praktisi Perlindungan Perempuan dan Anak di Jatim, Riza Wahyuni, mengungkapkan bahwa tren seperti ini sebenarnya sudah lama ada, tetapi menjadi lebih terkenal ketika diunggah secara langsung di TikTok.

"Tren 6 bulan terakhir, namun baru ramai sekarang. Ada fenomena di mana anak-anak memiliki tantangan katanya semakin banyak goresannya, maka akan semakin banyak mendapat gift. Ini problem, pernah live di TikTok," kata Riza, Senin (2/10/2023).

Riza juga menyoroti bahwa fenomena ini dapat memengaruhi anak-anak secara negatif dan meningkatkan risiko masalah kesehatan mental. Anak-anak dapat merasa putus asa dan bersalah terhadap diri mereka sendiri, terutama jika mereka mengalami tekanan mental yang tidak terdeteksi, seperti pelecehan, keluarga bermasalah, atau pengasuhan yang kurang memadai.

"Hal-hal yang ada pada diri mereka beraneka ragam, bisa saja mereka korban bullying, korban kekerasan oleh orang dewasa, keluarga broken home, bisa saja kesalahan pengasuhan di dalam keluarga. Sehingga membentuk diri mereka bermasalah yang tidak terdeteksi orang tua sejak awal," jelasnya.