Dilaporkan 3 WNA, Puteri Indonesia Persahabatan 2002 Bantah Tudingan Penipuan dan Penggelapan

Puteri Indonesia Persahabatan 2002 Fannie Lauren membantah terkait tuduhan 3 WNA mantan rekan bisnisnya soal dugaan penipuan dan penggelapan.

Dilaporkan 3 WNA, Puteri Indonesia Persahabatan 2002 Bantah Tudingan Penipuan dan Penggelapan
Dilaporkan 3 WNA, Puteri Indonesia Persahabatan 2002 Bantah Tudingan Penipuan dan Penggelapan

Lambeturah.co.id - Puteri Indonesia Persahabatan 2002 Fransisca Fannie Lauren Christie membantah terkait tuduhan 3 warga negara asing (WNA) mantan rekan bisnisnya soal dugaan penipuan dan penggelapan.

Lauren Christie menganggap tudingan itu tak sesuai dengan fakta yang terjadi. Diketahui ketiga WNA itu yakni Luca Simioni dari Swiss, Barry Pullen dari Inggris, dan Carlo Karol Bonati asal Italia. 

"Dikatakan di sini bahwa Luca Simioni merasa tidak pernah menjelaskan asal-usul uang terkait pembangunan (apartemen) milik dari Fannie Lauren," ucap kuasa hukum Fannie, Togar Situmorang, saat konferensi pers secara virtual di Gianyar, Bali, pada Jumat (23/6/2023).

Artikel terkait Mantan Putri Indonesia Persahabatan 2002 Jadi Korban Dugaan Penggelapan Seorang WNA

Kuasa hukumnya mempertanyakan atas penandatanganan akta kerja sama, yakni akta nomor 47 atas pelaporan ketiga WNA tersebut. 

Menurutnya, para investor asing atas nama Arturo Barone asal Italia dan Tomas Gerhard Hurber asal Swiss tidak pernah datang ke Indonesia untuk pembuatan akta kerja sama tersebut.

Dalam akta dijelaskan nomor 47 yang ditandatangani notaris pada 2016, Fannie bukanlah investor melainkan Direktur PT Indo Bhali Makmurjaya. Dalam perjanjian kerja sama yang ada di dalam perusahaan itu, lalu ada perjanjian yang mengikat antara Luca Simioni sebagai pihak pertama dan pihak kedua Valerio Tocci (suami Fannie).

Valerio Tocci mengikatkan diri untuk memberikan bantuan biaya bagi seluruh pembangunan hotel dengan persentase masing-masing, yakni 40 persen, 20 persen, 20 persen, dan 20 persen.

"Klien kami sebagai pemegang saham 95 persen tidak pernah ada dalam perjanjian itu. Dan pada 2021, klien kami dan suaminya dikatakan menjual diam-diam dua apartemen yang nyatanya adalah milik Fannie sendiri, dan pelaporan tidak sah karena Luca Simioni tidak ada dalam perjanjian tersebut," ujarnya.

"Jikapun ada dividen, apakah ada dana masuk dan laporkan pajak dividen itu. Untuk pembagian dividen juga wajib ada rapat umum pemegang saham (RUPS), dan itu wajib ada persetujuan dari Direktur PT Bali Makmur Jaya yakni Ibu Fannie," tambahnya.

Togar menambahkan dalam perjanjian notaris tersebut hanya ada dana Rp 500 juta. Sedangkan transaksi sesungguhnya tanpa izin dari Fannie masuk ke rekening PT DVM yang ada di Dubai, yang merupakan milik Luca.

Sementara itu, Fannie mengatakan Ada 11 unit apartemen dengan nilai total Rp 27 miliar masuk kerekening di Dubai. Akibat transaksi ke Dubai, dari pajak disebutkan ada kekurangan pembayaran Rp 27 miliar lagi.

"Saya dipanggil Kanwil Pajak dan wajib bayar Rp 2,014 miliar atas transaksi yang tidak dilakukan dan tidak pernah terima uangnya," ucap Fanni menambahkan.

"Bagaimana bisa dikatakan menggelapkan, inikan belum selesai. Nanti kalo sudah selesai apa perintah hakim itu kami taati," timpal Togar.

Atas pelaporan itu, Fannie hanya menunggu panggilan pemeriksaan dari Polda Bali.

Seperti diketahui, Luca Simioni, Arturo Barone, dan Thomas Huber melaporkan Fannie Lauren Christie ke Polda Bali, pada Kamis (22/6/2023). Tak hanya itu, suami dari Fannie yang juga WNA asal Italia bernama Valerio Tocci juga turut dilaporkan.

Mereka mengeklaim kerugian yang dialami terkait sengketa kepemilikan Apartemen The Double View Mansion. Kerugian pertama yaitu investasi untuk membangun apartemen DVM kurang lebih sebesar Rp 50 miliar.

Kedua kerugiannya yaitu berupa potensial valuasi apartemen DVM kurang lebih sebesar Rp 78 miliar dan juga potensial kerugian atas rental unit-unit apartemen DVM selama tiga tahun kurang lebih sebesar Rp 21 miliar.

Terakhir dari berbagai biaya yang dikeluarkan untuk mengurus seluruh sengketa kasus-kasus, baik perdata maupun pidana kurang lebih sebesar Rp 19 miliar. Total kerugian mencapai Rp 167,35 miliar.